:)


Sabtu, 03 Desember 2011

Konde Dalam Asbak

by : Desca Olympia Citra



Siapa sebenarnya yang salah ?
Aku, mereka, atau benar kita semua ?
Aku hanya ingin mati. Ingin melepas diri dari kemiskinan dan kelaparan. Seharusnya, kematianku membuat semuanya senang. Aku bebas… Kedua orang tuaku pun bebas dari biaya menghidupkanku. Tapi lihat, kematianku justru membuat masalah baru. Padahal dulunya semuanya sangat berbeda. YAH… Miskinnya tetap saja sama. Tapi, setidaknya mereka senang.
Lihatlah….

2 tahun yang lalu

Perkenalkan namaku citra, nama yang keren di zaman era globalisasi ini. Aku anak kedua dari 3 bersaudara, kakakku sudah kuliah di salah satu universitas ternama di Indonesia, adikkku masih menduduki bangku kelas 6 SD, sedangkan aku sekarang sudah kelas 3 SMP di salah satu sekolah unggulan di Palembang. Aku bersyukur mempunyai keluarga yang lengkap dan serba berkecukupan. Sejak kecil aku selalu hidup dalam keadaan yang mewah, tidak dibiarkan satu
pun debu yang masuk ke perutku, mama sangat memperhatikan kesehatan dan pergaulanku. Hingga setiap haripun aku diantar jemput oleh sopirku, pak ahmad.
Dari SD sampai SMP, aku disekolahkan di sekolah yang bernuansa islam. Tujuannya agar aku bisa lebih memahami tentang ilmu agama. Aku pikir itu ide yang bagus agar aku tidak terjebak ke dalam pergaulan yang bebas. Pada awalnya aku tidak mengerti apa kegunaan dan fungsi jilbab, namun dengan bergulirnya waktu aku mengetahui apa gunanya benda itu. Guruku yang selalu memotivasi kami untuk bisa menggunakan jilbab setiap hari dan dimanapun kami berada. Begitu panas rasanya….
Tapi kalau kita sudah terbiasa, lama – lama akan biasa. Pertama kali yang menggunakan jilbab adalah teman sebangkuku, dona. Itu juga akibat paksaan dari orang tuanya. Aku tak mengerti dengan jalan pikiran kedua orangtuanya, bukankah melakukan sesuatu itu harus dilandasi dengan kemauan diri sendiri (tanpa adanya paksaan). Entahlah….
Sepulang sekolah, saya selalu mampir ke warung bu icha untuk melihat asesoris. Mungkin saya ada asesoris yang bagus sehingga aku tertarik untuk membelinya. Tertuju mataku pada sebuah benda yang sebelumnya pernah ku lihat. Begitu indahnya benda itu hingga aku tertarik untuk membelinya.
“Bu, berapa harga jilbab ini ? bagus sekali bu….” Tanya ku
“Rp25000 nak” jawab bu icha
“WAH… benda sebagus itu harganya Cuma Rp25000 ?” pikirku
Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung membeli benda itu.
Ternyata… temanku ada yang tertarik juga dengan jilbab itu, untung saja bu icha mempunya stock jilbab yang banyak, sehingga aku tidak perlu berebutan dengan temanku.
Setibanya dirumah, aku langsung memandangi jilbab itu. Warnanya yang indah dan hiasan yang mengelilinginya, membuat hatiku nyaman dan tentram.
“Hanya aku pandangipun, benda ini telah membuat aku tenang apalagi kalau aku memakainya” pikirku
Tanpa menunggu lama, aku pun memakai jilbab itu.
Betapa cantiknya wajahku memakai benda itu, hingga mamaku terpesona saat melihatku.
Kalau begini caranya, aku mau memakai jilbab selamanya. Selain dapat mempercantik diriku, aku juga melindungi tubuhku dari mara bahaya di sekitarku.
Begitu juga dengan mama, alangkah senang hatinya mendengar kalau aku mau memakai jilbab untuk selamanya. Mama hanya menasehatiku, agar jangan melepaskan jilbab di tempat yang sembarang apalagi tempat itu terdapat laki – laki.
Aku hanya dapat menggelengkan kepala dan berkata, “iya mamaku sayang, tenang aja kok”.
Aku dan mamku sangat akrab, kami tidak hanya berhubungan sebagai ibu dan anak, tapi juga sebagai sahabat. Aku selalu curhat tentang sekolah, pengalaman, bahkan cowok yang aku taksir pun aku cerita dengan mama. Dengan senang hati mama mendengarkan semua celotehanku.
Apapun yang terbaik buatku dan membuat aku bahagia, mama pasti lakukan itu.
Terharu rasanya saat mama berkata demikian.
Namun, kebahagiaan kami tidak bertahan begitu lama. Entah apa dosa kami hingga kami mengalami semua ini. Sepulang sekolah, aku melihat banyak polisi yang sedang memasang text yang tertulis “rumah ini disita”. Begitu terkejutnya aku saat melihat itu dan lebih terkejut lagi ketika aku melihat papa dirangkul bapak polisi menuju mobil polisi.
“STOP, mau dibawa kemana papaku pak ? mengapa papa dibawa ke kantor polisi ? apa salah papaku ?” tanyaku.
Sebenarnya banyak pertanyaan yang mau aku lontarkan kepada bapak polisi, tapi waktu yang membatasinya.
“maaf dek, papa adek sementara kami tahan. Papa adek terlibat hutang dan korupsi. Maka dari itu kami meminta izin untuk membawa papa adek ke kantor polisi”. Jawab salah satu polisi itu.
APA ?
Papa korupsi ?
HAH ?
benarkah yang aku dengar barusan ?
TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK !!
Papaku tidak mungkin melakukan perbuatan terlarang itu, papaku orang yang baik. Jangan bawa papaku, pak. Aku mohon !
Dengan wajah yang murung aku mendekati papa.
“Kenapa papa tega lakukan ini ? bukankah selama ini papa selalu mengajarkan aku untuk selalu berbuat jujur ?
Jawab pa… kenapa ?
Papa tega menghianati kami, citra kecewa lihat papa !
“citra… maafkan papa, papa tidak bermaksud seperti ini. Di benak papa, hanya ingin membahagiaan kamu nak. Papa rela melakukan apa saja demi kamu, demi kakak dan adikmu nak.” Jawab papaku.
Sungguh, aku tidak mempercayai ini semua. Dan kini tinggallah mama, aku dan adikku. Semua harta ditahan oleh polisi, hingga kami tidak disisahkan sedikit pun.
Tidak ada lagi rumah mewah, tidak ada lagi mobil mewah, tidak ada lagi handphone canggih, tidak ada lagi ATM, semuanya lepas dari kami.
Kami pergi hanya membawa pakaian. Itupun hanya pakaian ala kadarnya.
CONFUSE !!
We are so confuse.
Bagaimana kami tinggal ?
Akankah kami tinggal di bawah jembatan yang ditemani dengan ribuaan nyamuk dan gelandangan.
YA !!
Itulah jawabannya…. Dengan hati terpaksa, aku dan adikku menerima keadaan ini.
Mamaku, seseorang yang selalu masak di dapur yang mewah kini hanya bisa mengorek-ngorek sampah demi mencari makanan bekas untuk kami makan.
Tak tertelan rasanya perut ini memakan itu semua, namun apa daya… kami tidak mau mati konyol akibat kemiskinan.
Gembel – gembel disana saja mampu bertahan hidup belasan tahun, mengapa kami tidak ?
Itulah yang menjadi motivasi kami untuk tetap tabah dalam menghadapi cobaan.
Lagi – lagi benda indah yang selalu aku pakai, membuat hatiku tenang.
Dia selalu menemani kesedihan dan keperihanku. Dia selalu melindungiku dari godaan cowok – cowok yang selalu berusaha menggodaku.
Kasihan sekali hidup kami, kakakku terpaksa putus kuliah karena mama tidak sanggup membiayai biaya kuliahnya, untungnya aku dan adikku tidak berhenti sekolah, karena masyarakat di sekolahku sangat perhatian dan peduli dengan keadaanku. Hingga aku mendapat raskin (beasiswa orang miskin).
Ya… aku bukanlah citra yang dulu, yang semuanya serba ada. Kini, aku miskin. Rasanya aku tidak pantas untuk bersekolah di sekolah unggulan itu, namun semangatlah yang selalu memotivasi aku untuk selalu tabah.
Sudah 2 tahun, kami tinggal di perkampungan kumuh dibawah jembatan. Aku akui, hidup disana sangatlahh susah. Belum lagi paksaan dari pada pereman yang selalu meminta pajak kepada kami, dan kesulitan kami untuk mendapatkan uang.
Dan kini aku telah menyelesaikan sekolahku. Sayangnya aku tidak melanjutkan ke sekolah atas. Disebabkan karena kekurangan dana.
Namun, aku tidak mau dibilang sebagai anak yang mau enak sendiri tanpa mau membantu orang tua.
Dengan inisiatifku sendiri, aku pun melamar pekerjaan di pertokoan sepanjang jalan kota Palembang.
Namun, tak satupun toko yang mau menerimaku. “Kamu itu tidak tamat sekolah, kamu juga memakai jilbab. Itu akan membuat pelanggan saya tidak mau membeli barang di tokoku”. Itulah alasan mereka.
“Karena jilbab ?”
Aku tidak mengerti dengan alas an yang tidak logis itu. Bukankah jilbab itu wajib…
Jilbab juga bukan sesuatu pembawa bencana.
Yayayayaayaya… aku baru menyadari itu, dikarenakan pemilik toko itu adalah orang cina.
Wajar saya dia memakiku habis – habisan karena aku menggunakan jilbab.
Lelah kakiku melangkah, kesana kemari aku mencari pekerjaan. Namun, tak satupun tempat yang mau menerimaku. Alasannya pun sama…
“Oh tuhan, mengapa harus karena jilbab ?
Aku memakai jilbab karenamu, ya Allah.
Namun, kenapa engkau mempersulitku untuk mendapatkan pekerjaan hanya karena jilbab ? “ tanyaku dalam hati.
Aku pun melamun, dari belakang tubuhku seperti ada yang membisikkanku :
“janganlah ikuti hatimu yang kacau, manusia diciptakan dengan dilengkapi akal sebagai wujud penyempurnaan. Kuatkan imanmu, citra” kata nurani
“kau takkan mendapatkan apa yang kamu mau dengan tetap mempertahankan kain itu. kau ingat disepanjang toko tidak ada satupun yang mau menerimaku, itu dikarenakan karena kain itu. AYO citra, jangan ragu… lepaskan kain itu. aku sang nafsu yang akan menemanimu menikmati dunia” kata si hitam.
Aku tak tahu apakah kini aku jadi pelupa atau setengah gila. Tapi aku terlanjur berbiak pada kehidupan yang sama sekali tak ku kenal. Hitam putih hidup telah menamparku kea sin lautan. Sebenarnya aku tidaklah pembimbang, hanya saja gerhana terlanjur membungkus hidupku. Dengan kain ini, aku terlihat begitu suci…. Tapi entah sampai kapan aku bisa berlindung di balik kain ini.
Tak lama kemudian datanglah seorang pemuda tampan menghampiriku. Dia menawarku sebuah pekerjaan dengan jaminan gaji yang cukup besar. Namun, aku tak mengerti semacam apa pekerjaannya itu. Tanpa basa – basi aku pun menerima tawaran lelaki itu.
Dan lagi – lagi, syaratnya aku tidak boleh menggunakan jilbab.
Kali ini, mungkin aku turuti permintaan lelaki itu, karena penawaran gajinya yang cukup besar.
“Aku bebaskan pikiranku sejauh aku berpatut pada mimpi dan pengharapan yang kabur. Dengan begini, aku terlihat lebih cantik bukan ? wahai… kebahagiaan yang pergi meninggalkanku, kembalilah aku dating menjemput kalian”
Demi mama, adik, dan kakakku. Aku akan kerja keras demi mendapatkan uang.
Dengan hati yang riang, aku kembali kerumah. Mamaku sangat terkejut ketika aku pulang dengan tidak memakai jilbab. Awalnya mama sedikit ragu dengan tawaran pekerjaan yang dating padaku. Namun, lama – lama mama menyetujuinya.
Keesokan harinya, aku mendatangi tempat pekerjaan baruku. Indah dan mewah sekali tempat itu. Dengan dikelilinginya banyak lampu yang berkelap kelip. Tak lama kemudian, datanglah lelaki yang kemarin mengajakku bekerja.
“Sekarang apa pekerjaanku pak ? apa yang harus saya lakukan” Tanyaku dengan tak sabar
“sabar honey, sekarang ayo ikut saya keruang ganti. Kamu harus mengganti pakaian kamu. Baju ini tidak pantas untuk gadis secantik kamu” jawab lelaki itu
Tanpa berpikir panjang, aku pun langsung mengikuti apa yang diperintahkan lelaki itu.
Alangkah terkejutnya diriku ketika aku diperintahkan untuk memakai baju mini plus rok pendek. Sesungguhnya aku tidak pernah memakai itu. oh… tidak !
Tapi apa daya, demi uang dan demi mama, adik, dan kakakku.
“so beautiful, honey”
Ayo… ikut oom keatas. Kamu sekarang sudah mulai bekerja.
Betapa senangnya hatiku, ketika aku mendengar bahwa inilah saatnya aku bekerja.
Namun aku bingung, mengapa aku dibawa keatas yang isinya disana adalah kamar hotel.
Oh… mungkin aku ditugaskan sebagai OB, pikirku.
Namun dugaanku salah… seratus delapan puluh derajat dari perkiraanku sebelumnya.
Aku tidak menyangka aku akan dibawa ke tempat ini. Tempat orang memenuhi nafsu syahwatnya.
“TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK !!
Aku tidak mau om, tolong jangan paksa aku”.
Alangkah terkejutnya aku ketika aku masuk ke salah satu ruangan kamar hotel itu.
Telah banyak lelaki yang antri menunggu gilirannya untuk bersenang- senang bersamaku.
Dalam keadaan seperti ini aku tidak bisa berbuat apa-apa. Di depan pintu kamar, telah ada body guard yang menjaga hingga aku tidak bisa berlari.
Disana aku hanya bisa menangis, meratapi apa yang aku lakukan bersama lelaki itu demi menyenangkan dan melayani lelaki itu.
Setiap malam aku lakukan itu, demi mendapatkan uang.
Alasan yang logis namun GILA.

Ketika diriku, dirimu, dan dirinya tidak bisa memberikan apa yang dipinta
Remah – remah waktu berceceran sejauh cakrawala
Selalu saja begitu dan begitu saja ketika nasib berkata lain
Tatkala takdirku, takdirmu, dan takdirnya meletus warna warni amarah
Menyeret bentera nuh, karam kepalung jiwaku
kepalung jiwamu & kepalung jiwanya
Perang lima hari lima malam memuncratkan darah
Dan aku balut sebait luka dengan selendang suteraku
Tapi kau rampas selendang berbalut luka dengan acuh tak acuh
Kau sulap jadi api demi kebaikanmu demi kebaikanku
dan demi kebaikannya
Kau biarkan selendang api itu menunggangimu
Tamat riwayatku dalam kepedihan kemarau panjang

“aku kotor, ya… kini aku kotor”
Aku tidak pantas hidup…
Apa yang telah aku lakukan, tidak sepantasnya untuk dilakukan.
Mamaku tidak boleh tahu tentang pekerjaanku. Aku tidak mau membuat mama sedih, aku ingin selalu membuat mama senyum dan tertawa.
Yaaaaaa…. I love you, mom.
“Sejauh-jauh aku bersembunyi, bau bangkaiku tetap tercium juga. Aku telah mengotori tubuhku dengan mukaku yang bertopeng”
Begitu sedih dan kecewanya mama ketika mendengar kabar bahwa aku hina.
Mama tidak mau menegurku. Jangankan menegur, memandangkupun ia tidak mau.
“cit, kenapa kau tega melakukan ini ?
Apakah ini hadiah special yang kau berikan untuk mama ?
Sungguh, mama kecewa padamu !”
Mendengar kata – kata itu, aku langsung meneteskan air mata.
Sungguh, aku tidak bermaksud melakukan ini.
Aku hanya ingin membahagiakan mama. Aku hanya ingin membantu mama mencari uang demi menghidupi kami.
“TIDAK seperti itu caranya cit, mama sanggup walau mama harus mencari uang sendirian. Kalau sudah begini, rasanya mama tidak berguna lagi. Mama sudah gagal mendidik kalian terutama kamu citra”.
“maafkan aku ma, tolong maafkan aku… aku khilaf, semua ini bukan karena kemauanku ma.
Aku juga tidak tau kalau akhirnya akan begini. Sebelumnya aku juga tidak mengetahui pasti tentang pekerjaan apa yang akan lelaki itu berikan padaku” jelasku terhadap mama.
Namun apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Suasana bahagia mungkin tidak akan pernah lagi kami rasakan. Keadaan semakin hari semakin memburuk, ditambah lagi perutku yang semakin hari semakin besar. Aku tak sanggup menghadapi semua ini. Aku ingin meninggalkan dunia yang fana ini. Dunia ini tidak pantas dihuni oleh orang sepertiku.
Kegagalan demi kegagalan merapat ke pembuluh daraku. Aku telah kehilangan segalanya.
Kebahagiaan yang aku pikir sebelumnya akan melekat pada diriku, ternyata salah besar.
Maafkan aku ma, aku tidak berbakti padaku. Aku telah membuat dirimu malu akibat perbuatanku.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengambil pisau tajam didapur, dan kutusukkanlah pisau itu ke perutku. Hanya nama dan jasadku lah yang mungkin masih dapat terlihat, namun lama – kelamaan semua itu lenyap di awing – awing, ke ufuk barat penghabisan petang.

0 komentar:

Posting Komentar

:-)

:-)
 
Copyright (c) 2010 Take a Part and Powered by Blogger.