:)


Sabtu, 03 Desember 2011

Lelehan Cinta Derasnya Darah Mengalir

by : Desca Olympia Citra



Lelah rasanya hati ini, menuggu sesuatu yang tidak pasti. Penat rasanya dada ini, selalu dan selalu menghadapi keadaan seperti ini. Aku ingin bebas, menghirup udara segar, menikmati nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Namun apa daya… mungkin aku telah ditakdirkan untuk selalu berdiam diri di tempat ini. Tempat yang telah menjadi teman hidup keseharianku, yaitu kamarku. Semakin hari otakku sudah tidak berfungsi dengan sempurna, mungkinkah aku amnesia ? atau menjadi gila ?

Entahlah… Tubuh ini seperti dipasung ribuan tahun, aku tidak bisa bergerak bebas. Aku tidak bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Kicauan burungpun tidak terdengar lagi, bahkan desiran angin yang lewat di depan jendela kamarku, sudah tidak bs dirasakan kembali.

Siang itu keadaan rumah sepi, mama pergi arisan dirumah temannya sedangkan papa seperti biasa pergi bersemedi di GUA. Aku hanya bisa duduk termenung sendirian meratapi apa yang terjadi padaku.

Terbesit sesuatu yang dipikir menggila namun itulah yang akan menjawab pertanyaanku selama ini, pertanyaan tentang hidupku.

Aku ingat dan tahu cara membuka pintu itu, karena setiap kali mama membuka dan menutupnya selalu terekam di kamera tersembunyiku. Diam – diam aku keluar dari kamar, dan pergi untuk menikmati udara bebas. Maafkan aku ma, aku tak patuh akan peringatanmu. Sesungguhnya aku lelah dengan keadaan seperti ini. Belasan tahun aku terkurung dikamarku sendiri yang alasannya sama sekali tidak aku ketahui. Aku ingin mengetahui jati diriku, alas an yang logis dan membuat aku mengerti akan semuanya. Aku ingin hidup normal, tanpa ada paksaan, kekangan, bahkan hidup dengan rasa bahagia.

Zreeeeeeeeeeeeeeeeeeeet…. Pintu kamar terbuka. Dengan sangat hati – hatinya aku membuka pintu. Walau aku tau,tidak ada 1 orangpun yang ada dirumah itu, namun aku harus tetap bersikap waspada. Aku senang akhirnya aku bisa keluar dr persembunyianku walau Cuma sebentar. Setidaknya aku bisa sedikit merasakan panasnya cahaya matahari, dinginnya hembusan angin, dan merdunya suara burung yang berkicau. Saat itu matahari tampaknya lagi senang, karena siang itu cahaya matahari sangat panasnya, dan hembusan angin tidak terasa sedikitpun di kulitku. Awalnya aku bersikap biasa – biasa saja, tapi setelah beberapa lama ?

Betapa terkejutnya diriku ketika melihat tubuhku yang lama kelamaan meleleh. Seperti es batu yang jika terkena matahari dia akan meleleh.

“Ada apa dengan tubuhku ? mengapa aku seperti ini ? tuhan… kenapa denganku “ jawabku dalam hati.
tanganku, kakiku telah meleleh separuh, aku bingung apa yang harus aku lakukan.

Lama kelamaan aku akan mati jika aku bertahan lama keadaan seperti ini.

Namun tuhan tampaknya masih sayang padaku, seketika itu mama pulang. Betapa terkejutnya mama ketika melihat aku dalam keadaan demikian.

“Olim…. Mengapa engkau keluar kamar, nak ? mama telah melarangmu untuk keluar kamar, karena mama takut kejadian ini akan terjadi” Tanya mama dengan cemasnya.

“maafkan aku ma, aku tak menghiraukan perkataanmu. Aku hanya ingin hidup normal ma, aku ingin menikmati dunia luar” jawabku.

Mama hanya bisa terdiam, air mata mamapun menetes dengan pelannya. Bibir mama terasa kaku untuk menjawab kembali pernyataanku, namun aku tak memaksa mama untuk menjelaskan ini semua.

Walau di dalam hatiku yang paling dalam, aku sangat membutuhkan penjelasan dari mama.

1 jawaban yang singkat namun tidak bermakna, “takdir”. Aku sangat kecewa mendengar statement yang keluar dari bibir seksi mama.

Tuhan… apa yang salah pada diriku, mengapa demikian ? aku ingin kejelasan yang pasti. Bukan mengandung makna yang samar.

Namun apa daya, mungkin ini waktu yang belum tepat untuk mama memberitahukan seluruhnya kepadaku. Aku hanya bersabar, menanti sebuah penjelasan yang bisa menjawab seluruh pertanyaanku selama ini. Berapa lama lagi aku harus menunggu ?

Setelah tubuhku meleleh semuanya ?

TIDAK… itulah jawabannya.

Mama dulunya pernah muda, dan pernah merasakan galau sepertiku. Karena itulah dia mengerti akan perasaanku. Dengan lembut dan pelannya mama menjelaskan semuanya.

“olim bnrn ingin tahu alasannya ?” Tanya mama kepadaku

“mamaku sayang, jika keinginanku untuk tahu tidak begitu besar, aku tidak mungkin memaksa mama bercerita sedemikian” jawabku.

Air mama mama jatuh seketika mendengar jawabanku, walau aku tidak tau perkataanku yang mana yang membuat hati mama pilu.

Betapa terkejutnya aku ketika mendengar penjelasan yang diberikan mama kepadaku.

Aku anak kutukan, kutukan akibat perbuatan kedua orang tuaku. Papa yang selaku bersemedi ternyata diam – diam dia berkomplotan dengan para setan. Dan lahirlah aku…

Intinya aku seorang anak akibat hubungan papa dengan para setan.

TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK, kenapa harus aku ma ?

Tidakkah mama dan papa melakukan sesuatu yang membuat kutukanku hilang ?

“segala usaha telah mama lakukan nak, namun hasilnya tetap nihil. Ada 1 cara yang dapat menghilangkan kutukanmu, yaitu kamu harus membunuh calon suami yang menjadi teman hidupmu. Namun jika telah sampai menjadi suamimu, maka suamimu itu akan mati seketika”. Jawab mama .

Itu sama saja aku menjadi seorang pembunuh ma, aku tidak mungkin melakukan itu. lagi pula, tidak akan ada pria yang mau denganku. Aku yang selalu berdiam diri di kamar, dan dalam keadaan seperti ini. Semuanya tidak adil, aku mungkin ditakdirkan untuk sendiri. Di satu sisi, jika aku ingin sembuh, aku harus membunuh calon suamiku. Namun disisi lain, jika aku mencintai laki – laki itu, laki – laki itu akan mati seketika karenaku.

Ribuan pertanyaan melingkar diatas kepalaku, aku tidak bisa berfikir dengan jernihnya. Aku hanya bisa berdoa tentang kelangsungan hidup dan masa depanku kelak.

Hari demi hari aku lalui dengan sendirinya dan ditemani dengan teman tidurku, peppy. Boneka mungil berbentuk bear yang selalu menemaniku. Aku hanya bisa melihat indahnya lingkungan dari celah kecil di kamarku. Sempat aku kesal pada papa dan mamaku, namun apa guna. Tidak membuahkan hasil, dan keadaanku akan terus seperti ini.

Aku merasa diriku seperti orang buta yang hari – harinya tidak bermakna. Hari – hari yang hanya ditemani kegelapan.

Tok… tok.. tok

“olim, bolehkah mama masuk ?”Tanya mama

“silahkan ma, mama bisa masuk dan keluar sesuka hati, tidak ada larangan dan tidak ada batasan. Tidak seperti diriku yang semuanya harus diatur” jawabku dengan tegas

“olim… tutup bibirmu, tidak sepantasnya kau bicara demikian pada mama. Mama yang telah bersusah payah membesarkanmu hingga seperti ini” mama membalas.

Kali ini aku hanya bisa diam, tiap kali mama tampaknya marah, aku tidak bisa melawan. Aku hanya bisa tertunduk dan berfikir dengan jernihnya.

“maafkan aku , ma” jawabku

Sesungguhnya mama menyesal telah berkata demikian padaku. Mama menyadari, semua itu juga karena dia. Dia yang telah menjadikanku seperti sekarang ini, dia juga yang telah membuat hidupku terkekang. Di pangkuanku, mama menangis. Baru kali ini mama menangis di pangkuanku.

Waktu telah lelah, panasnya sinar matahari telah meredup, ini saatnya aku untuk keluar rumah. Namun apa daya, cuaca telah gelap, dan tak lama kemudian papa pulang.

Kali ini ekspresiku berubah terhadap papa, awalnya papa bingung dan hampir tidak mengerti mengapa aku bertindak demikian. Namun, lama – kelamaan papa paham dan papa berlutut minta maaf kepadaku.

Sudah 17 tahun lamanya aku di dunia ini, usia yang terbilang labil dan cukup dewasa untuk merasakan cinta. Namun tidak untuk diriku, aku terlahir sebagai seseorang yang tidak bisa merasakan cinta. Tidak ada 1 cwok pun yang mau jadi pacarku. Aku dibilang kuperlah, gak gaul lah, dan lain sebagainya. Aku hanya bisa sabar dan ikhlas menunggu datangnya pangeran yang tulus mencintaiku.

Aku lupa tentang pantangan larangan dan syarat yang bisa membuatku normal, itulah yang membuat aku terbelenggu begitu lama.

Walau suasana telah gelap, hingga tidak terlihat lagi cahaya matahari yang tampak, aku memberanikan diri untuk keluar rumah. Cuaca di dalam kamar sangatlah panas, itulah yang lama kelamaan membuat aku gerah. Aku bersyukur mama masih memperbolehkan aku untuk mencari udara segar di malam hari.

Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Gemuruhnya suara petir dan derasnya angin yang berhembus membuat orang yang melintas tidak tahan untuk melanjutkan pemandangan.

Sesosok pria ganteng yang datang kerumahku untuk berteduh. Betapa terkejutnya aku ketika melihat pria itu, aku seperti jatuh hati padanya. Ternyata apa yang aku rasakan, dirasakannya kembali oleh pria itu, pria itu merasakan detak jantung yang berirama terhadapku.

Dengan rasa gelisah dan gugup aku bicara padanya. Pekenalan, tempat tinggal, dan dari mana berasal, itulah yang menjadi pertanyaanku pertama kali.

Edo namanya, nama yang cukup bagus di jaman sekarang ini. Dia sosok yang sempurna, sopan, dan berbudi luhur yang baik. Mama sangat mengharapkan aku untuk bisa bersamanya.

Namun, kembali pada 1 permsalahan yang sekilas telah aku lupakan. Ketika itu aku sangat galau dan bingung tentang apa yang harus aku lakukan. Di satu sisi aku tidak mau kehilangannya di satu sisi aku ingin hidup normal. Kali ini urusan cinta dan raga sedang bertarung. Aku tak tahu apa yan g harus aku pilih.

Keesokkan harinya, edo datang kerumahku. Dilihatnya lah aku sedang duduk termenung sendirian didalam kamar, diajaknyalah aku untuk menghirup udara segar di luar, namun aku menolaknya. Aku takut edo hilang perasaan terhadapku.

Aku ingat perkataan mama yang bisa membuatku kembali normal, sesungguhnya aku tak ingin membunuh edo. Itu sama saja aku membunuh jiwa ragaku sendiri. Sudah beberapa lama aku bersama – sama edo, hingga akhirnya edo mengajakku menikah. Betapa senangnya aku ketika mendengar pernyataan edo demikian. Namun aku kembali bersedih, aku tak ingin kehilangan edo. Lelaki yang sangat aku cintai.

Lama kami telah bersama namun edo sama sekali tidak mengetahui siapa aku dan keadaanku. Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bilang sejujurnya kepada edo. Namun, edo tetap merespon baik. Dia tulus mencintaiku tidak mengenal derajat dan asal nya aku. Aku senang dan bangga punya calon lelaki seperti dia. Tanpa berpikir ragu, aku langsung menyetujui permintaan edo untuk menikah denganku. Bahagia banget rasanya…

Pesta pernikahan kami pun berlangsung, alhamdulilah berjalan dengan lancer dan sempurna. Aku senang dengan semua ini walau aku menikah dalam keadaan cuaca gelap, tanpa adanya sinar matahari. Namun, itu tidak sedikitnya membuat perasaan bahagia kami senang.

Seminggu berlalu… terhitung dari pelaksaannya pesta perkawinanku dengan edo. Tampak adanya tanda – tanda yang berbeda dari edo. Awalnya aku anggap itu hal yang biasa ternyata lama kelamaan aku menyadari bahwasanya itu adalah balasan kutukan dariku terhadap edo.

Lama kelamaan, penyakit edo semakin parah. Hingga daging yang ada di tubuhnya tidak terlihat lagi. Yang ada hanyalah tulang kering yang melekat.

“tuhan, aku tidak ingin kehilangan edo, aku sangat mencintai edo, tolong jangan ambil dia tuhan”.

Namun, tuhan berkata lain. Tak lama demikian, edo meninggal. Meninggalkan diriku dan dunia yang fana ini untuk selamanya.

Jeritan dan tangisanku tidak bisa dibendung dengan apapun, hingga tetesan darah dari mataku mengalir.

Aku sangat mencintai edo, cintaku tak bisa terbalas dengan apapun. Aku rela melakukan apa saja demi edo. Walau itu sakit sekalipun. Tanpa berpikir panjang aku mengambil pisau di dapur, kutusukanlah pisau itu ke perutku, hingga aku meninggal dunia juga.

Aku tidak bisa membiarkan edo mati karenaku, jikalau takdir emang ingin mematikan edo, dengan demikian aku juga harus mati. Belaian tanganku masih melekat pada edo, dan lama kelamaan jasad itu habis dengan beriringan waktu.

Hanya nama kami yang dapat dikenang sampai akhir hayat.

0 komentar:

Posting Komentar

:-)

:-)
 
Copyright (c) 2010 Take a Part and Powered by Blogger.